DAYA GHAIB KERIS


DAYA MAGIC KERIS


Di dalam filsafat Jawa digoreskan “Bapa (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah” maksudnya jika ayah (orang tua) hidup prihatin dan anak, cucu, cicit, dan canggah yang akan menerima kebahagiaan. Keprihatinan yang diwujudkan dalam benda yang pengerjaannya dilakukan oleh seorang Empu dengan bermati raga dan bertapa selama paling tidak 3 bulan tentu memberikan daya yang sangat kuat yang terekam di dalam mantra yang terpatri dalam godaman sang empu lewat pembakaran dan penempaan yang terus menerus dalam keprihatinan yang mendalam.

Doa yang terlantun dari empu yang berupa mantra-mantra ibarat kaset yang diputar dan terekam di dalam keris dan tosan aji. Kaset itu bisa diputar balik apabila yang mempunyai keris tahu cara memutarnya. Oleh karena itu dalam dunia perkerisan ada laku/ritual yang harus ditempuh seseorang apabila hendak membeli keris. Membeli keris memang dengan uang, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu dengan laku keprihatinan, laku yang sangat umum adalah "Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembah laku utama" (Hati yang baik yang selalu mengemuka, keharuman pembicaraan yang senantiasa menarik, ditambah laku keutamaan). Tanpa laku itu keris tidak akan bermakna.

Keris yang handal butuh laku yang handal pula, oleh karena itu meski kita mempunyai keris Gajah Mada sekalipun tanpa laku yang memadai keris itu tidak akan berguna, lantaran tidak bisa dihidupkan daya magisnya. Walaupun keris iu dalam eksoterinya kurang berkelas, tetapi jika disertai laku luhur pemiliknya, maka boleh jadi keris itu akan bermakna bagi hidup pemiliknya.

Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi “Jiwa Jawi” yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu “kearif-bijaksanaan”.